BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat.
Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian corak tafsir?
2. Apa sajakah corak penafsiran itu?
3. Bagaimana letak perbedaan penafsiran masing-masing corak tafsir ilmi, corak tafsir Fiqh, corak Falsafi, corak Shufi, corak Adabi dan Ijtima’i?
4. Apa saja macam-macam tafsir menurut sumbernya?
C. Manfaat Penulisaan
1. Untuk mengetahui pengertian corak tafsir.
2. Untuk mengetahui macam-macam corak penafsiran.
3. Untuk mengetahui letak perbedaan penafsiran masing-masing corak tafsir ilmi, corak tafsir Fiqh, corak Falsafi, corak Shufi, corak Adabi dan Ijtima’i.
4. Untuk mengetahui macam-macam tafsir menurut sumbernya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Corak Tafsir
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna) pada kain (tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat (faham, macam, bentuk) tertentu.[1] Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang corak-corak penafsiran di abad modern.
Adapun tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه.
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.[2]
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .
B. Macam-macam Corak Tafsir
1. Corak ‘Ilmi
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.”.
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabir karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihya’ ‘ulum al-din, dan Jawahir al-Qurankarya Imam al-Ghazali; serta al-Itqan karya al-Suyuti sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini. Ada beberapa ulama yang menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, terutama penafsiran model al-Fakhr al-Raziy dan Thanthawi Jawhari karena dianggap terlalu berlebihan dalam penafsiran ilmiah dan terkesan memaksakan diri membuat kaitan antara ayat-ayat al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.[3]
Contoh Q.S al-Baqarah [02]: 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan makan satu jenis makanan di pegunungan
وَ إِذْ قُلْتُمْ يَا مُوْسَى لَن نَّصْبِرَ عَلَىَ طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِن بَقْلِهَا وَقِثَّآئِهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِيْ هُوَ أَدْنَى بِالَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?
Thantowi Jauhari (w. 1940 M) mengomentari ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan
2. Corak Tafsir Fiqh
a. Pengertian Corak Tafsir Fiqhi
Corak Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi inijuga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.
Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin[4].
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqh adalah Ahkam al-Quran karya al-Jassas (w. 370 H); Ahkam al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jami‘ li ahkam al-Quran karya al-Qurtub (w. 671 H).
b. Sistematika Tafsir Fiqhi
Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika:
1) Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas.
2) Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al-Qur’an.
3) Maudhu’i yaitu menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurtuby sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dengan demikian ia memakai sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
c. Contoh tafsir fiqhi
واقيموالصّلاة وأتواالزّكاة واركعوامع الرّاكعين…
(Surat Al Baqarah 43)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al Thawri, Malik dan Ashab Al Ra’yi. Dalam masalah ini al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, menurutnya anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik.
3. Corak Falsafi
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat.[5]Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
4. Corak Shufi
a. Pengertian Tafsir Sufi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi. Dan Sufisme atau Tasawwuf adalah ajaran-ajaran yang mempunyai tujuan memperoleh hubungan secara langsung dengan tingkat kedekatan yang tinggi kepada Allah SWT, karenanya pemahaman seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an dipengaruhi derajat dan kualitas keruhaniannya sehingga hasil penafsiran para sufi mempunyai corak atau karakter yang kental dengan penafsir.[6]
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`ankarya al-Syairazi.
Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna: Zhahir, Batin, Hadd, dan matla’.
b. Karakteristik Tafsir Sufi
Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan.
Contoh Dalil al-Qur’an tentang paham ini adalah Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186: “Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
2) Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Contoh tafsir ini adalah:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Barangsiapa yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah!
Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Allah SWT telah berfirman:
وما تشآءون الا أن يشاء الله إن الله كان عليما حكيما
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.Demikianlah menurut al-Alusi.[7]
5. Corak Adabi dan Ijtima’i
a. Pengertian Adabi Ijtima’i
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[8]
b. Tokoh-tokoh Adabi Ijtima’i
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya,[9]dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1) Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2) Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M).
3) Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
4) Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
c. Literatur Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia
1) Tafsir bi al-Ma’tsur Pesan Moral Al-Qur'an, Karya Jalaluddin Rahmat.
2) Tafsir Juz ‘Amma disertai Asbab al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan Edham Syifa’i.
3) Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
4) Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur'an, karya Mahasin.
5) Konsep Kufr Dalam Al-Qur'an, karya Harifudin Cawidu.
6) Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur'an, Karya Jalaludin Rahman.
7) Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, Karya Musa Asy’ari.
8) Jiwa Dalam Al-Qur'an, karya Achmad Mubarok dll.
C. Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya
1. Tafsir bil Ma’tsur
Kata al-matsuradalah isim maf’ul dari kata atsara ya’tsiru/ ya’tsuru atsran wa atsaratan yang secara etimologi berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al-Atsar juga berarti sunnah, hadist, jejak, bekas, pengaruh dan kesan[10].
Secara istilah Tafsir bi Al-Matsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan pada penjelasan Al-qur’an sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya dan pendapat tabi’in. jadi ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-matsur.
a. Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terhadap Al-qur’an sendiri.
b. Otoritas hadist nabi yang memang berfungsi.
c. Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang banyak mengetahui Al-Qur’an.
d. Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat.
Dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Tafsir Bil Matsur adalah tafsir yang dilakukan oleh mufassir dengan menggunakan Al-qur’an, hadist, ijtihad sahabat dan tabi’in untuk menafsirkan ayat itu sendiri.
Contoh dari Tafsir Bil Matsur adalah pada Surat Ali-Imran Ayat 133:
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
Adapun yang dimaksud dengan “Al-Muttaqin” (orang-orang yang bertakwa). Pada ayat berikut, ditafsirkan sebagai berikut:
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
2. Tafsir Bil Ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi ra’yi berarti keyakinan (I’tikad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Zhabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa arab dan metodenya. Dan adapun Al-Farmawi mendefinisikannya bahwa menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si muffasir bersangkutan mengetahui metode digunakan orang arab ketika berbicara dan menggunakan kosa kata bahasa arab serta artinya. Dan si mufassir pun dibantu oleh Asbabul Nuzul, Nasikh Mansukh dan lainnya yang dibutuhkan oleh muffasir sebagaimana diutarakan syarat-syarat menjadi muffasir.
Terhadap tafsir bil ra’yi para ulama berlaianan pendapat ada yang membolehkan ada pula yang mengharamkan. Sebetulnya hanya berlaku didalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dengn Ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau jika dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa arab, pokok-pokok hukum syariah dan lain sebagainya, atau penafsiran tersebut hanya untuk menguatkan hawa nafsu belaka.
Contoh Tafsir Bil Ra’yipada Surat An-Nahl ayat 68:
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحْلِ أَنِ ٱتَّخِذِى مِنَ ٱلْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Artinya:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia".
Mereka berpendapat bahawa diantara lebah-lebah itu ada yang diangkat sebagai nabi-nabi yang diberi wahyu oleh Allah. Dan mereka mengemukakan cerita bohon tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh kepohon, kemudian tetesan itu dipindah kan oleh lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan madu.
3. Tafsir Bil Isyari
Kata al-isyarahadalah sinonim muradif dengan kata al-dalil yang berarti tanda, petunjuk, isyarat, signal, perintah, panggilan, nasehat dan saran. Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir bil isyari adalah mentakwilkan Al-Qur’an dengan mengesampingkan makna lahirnya karena ada isyarat tersembunyi yang bisa disimak oleh orang-orang yang memiliki ilmu tasawwuf.
Diantara kelompok sufi ada yang mendakwakan bahwa riyadah (latihan) rohani yang dilakukan oleh seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikannya kesuatu tingkatan dimana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat kudus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan qur’an, dan akan tercurah pula kedalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuansubhani yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang disebut Tafsir isyari.[4]
Contoh Tafsir Isyari pada Surat Al-Baqarah ayat 67:
وَ إِذْ قَالَ مُوْسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً قَالُوْا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ
Artinnya:
“ Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
Pada ayat di atas terdapat makna zahir, yaitu: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." Tetapi dalam Tafsir Isyari diberi makna dengan "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah."
4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )
Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak diartikan oleh para mufassir sebagai kecenderungan atau spesifik seorang mufassir. Hal ini dilatar belakangi oleh pendidikan, lingkungan dan akidahnya (keyakinannya). Diantara macam-macam corak tafsir yaitu; corak ‘Ilmi, corak Fiqhi, corak Falsafi, corak Shufi, corak Adabi Ijtima’i.
Adapun macam-macam penafsiran dibagi menjadi empat, yakni : tafsir bil ma’tsur, tafsir bil ra’yi, tafsir isyari dan juga tafsir izdiwaji atau tafsir campuran antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zarkasyi, 1376 H-1957 M "Al-Burhan fi Ulum al-Qur'an".Darul Ahya
al-kutub al-Arabiyah.
Mahmud al Alusi,Abu al Fadl, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al-Qur'an‘Azim wa Sab’I
al Matsani. Beirut:Dar Ihya' al Turats al’A'rabi.
Rohimin, 2007. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syihab ,Quraish. 1992. Membumikan Al- qur’an, Bandung: Mizan.
--------------------, 2001. Sejarah & Ulum al- Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
--------------------, 2007. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
--------------------, 1994. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.
Suma, Amin. 2001. Pengantar Tafsir Ahkam,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai pustaka :,Jakarta.
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai pustaka :,Jakarta, 2005), hal-220
[2] Az-Zarkasyi, "Al-Burhan fi Ulum al-Qur'an",Darul Ahya al-kutub al-Arabiyah, Jilid I cet I, 1376 H-1957 M, hal-13
[3] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 94.
[4]Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Hal. 150.
[5] Moh. Qurais Shihab, Membumikan Al- qur’an, (Bandung: Mizan, 1992). Hal. 72
[7] Abu al Fadl Mahmud al Alusi, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al-Qur'an‘Azim wa Sab’I al Matsani, (Beirut:Dar Ihya' al Turats al’A'rabi,),hal.266.
[10] Terj Aunur Rafiq, pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006) hlm 434
[11] https://zaifbio.wordpress.com/2010/05/03/tafsir/ Diakses pada selasa, 07/04/2015 pukul 15.21 WIB
0 Response to "MAKALAH ULUMUL TAFSIR corak tafsir"
Post a Comment