BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Diskusi mengenai agama dan negara masih terus berlanjut di kalangan para ahli. Pada dasarnya yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya campur tangan agama dalam urusan kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap urgensi beragama dan bernegara menjadi sangat penting. Dari sana kita akan dapat menyimpulkan sebarapa besar peranan agama terhadap negara. Juga perlu dimengerti pandangan berbagai ideologi menyangkut masalah ini.
Maka pada makalah ini akan diuraikan tentang pentingnya bernegara dan beragama. Dilanjutkan dengan hubungan antara agama dan negara ditinjau dari paham teokrasi, sekuleris dan komunis. Sehingga nantinya kita dapat menyimpulkan seberapa penting keterlibatan agama dalam negara.
Orientasi ke depan adalah kita dapat menjelaskan relasi agama dan negara dalam berbagai ideologi, mampu menganalisa konsep hubungan agama dan negara dalam Islam serta dapat mengkritisi hubungan agama dan negara di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika Pancasila Dan Agama Islam
1.1 Pancasila
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuaan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.1 Negara Islam
1. Hukum rajam atau cambuk bagi para pezina dan pemerkosa
2. Hukum Potong tangan bagi para pemcuri dan koruptor
3. Hukum khisos, adalah hukum mati bagi para pembunuh ( nyawa di balas dengan nyawa
Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Munculnya beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di beberapa daerah di era refromasi sedikit banyak kembali memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama.
Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan itu dilakoni para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara dan bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.
3.1 Konflik Ideologis
Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni atas dasar apa negara Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama (mainstream), yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme (kebangsaan) sekuler.
Dari naskah sidang-sidang BPUPKI kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami karena The Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat, pendidikan Islam maupun kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya, perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu.
Sekalipun demikian, secara prinsipil, hasil kompromi itu masih bersifat longgar. Dasar negara rupanya menjadi “kitab” terbuka untuk dipersoalkan lagi. Mungkin di masa revolusi (1945-1949) perdebatan itu agak terhenti, karena para tokoh avant garde itu harus menghadapi musuh bersama yakni upaya-upaya rekolonisasi Belanda, akan tetapi pada tahun 1950-an, polemik klasik itu mencuat lagi ke pemukaan dalam bentuknya yang lebih keras. Perseteruan antara kelompok pendukung ide Pancasila (nasionalisme sekuler)) dan Islam (nasionalisme-religius) kembali mendapatkan tempat.
Pada dasarnya perdebatan di Konstituante itu positif, sebagai manifetsasi demokrasi liberal, akan tetapi karena tidak pernah menemui ujung penyelesaian, proses perdebatan itu akhirnya memicu munculnya malapetaka baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan Islam atau Pancasila yang diimplementasikan sebagai dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi justru sistem otoriterianisme. Islam maupun Pancasila dalam pengertiannya yang idealistik akhirnya harus “minggir” ke belakang.
Demokrasi Terpimpin (1959-1066) menjadi titik balik (the turning point) demokrasi paling krusial dalam sejarah Indonesia. Rezim mengikrarkan kembali ke UUD 1945, sebuah naskah historis yang di dalamnya termaktub butir-butir Pancasila, akan tetapi praktiknya justru despotisme. Pancasila dan UUD 1945 menjadi kredo belaka bagi kekuasaan absolut. Namun demikian, bagi sejumlah ahli tata negara, praktik antidemokrasi yang berlangsung sejak 1959 tidak mengherankan, karena secara prinsipil, UUD 1945 memang sangat mungkin untuk diselewengkan.
4.1 Dominasi Pancasila
Sejak saat itu, kalangan Islam ideologis tidak mendapatkan panggung yang sebanding untuk memperjuangkan kembali dasar negara Islam. Otoritarianisme membuat ekspresi politik kelompok ini “mati kutu”. Sebaliknya, sebagian kelompok nasionalis-sekuler mendapatkan panggung justru karena berlindung di balik otoriterianisme. Memang, muncul pula kelompok agama dalam formasi kekuatan politik saat itu, akan tetapi eksistensi mereka tak lebih sebagai “pelengkap” belaka untuk sebuah formalitas unsur kebangsaan. Mereka tidak mewakili arus utama kelompok Islam idiologis.
Pada masa Orde Baru, suasana politik berubah, karena pergantian rezim. Polemik Islam dan Pancasila kembali mendapatkan sedikit ruang, sekalipun di batasi dalam kerangka wacana belaka. Despotisme yang panjang, termasuk dalam bentuk deislamisasi dan depolitisasi, telah membuat kredibilitas kelompok Islam ideologis surut. Orde Baru yang pada awalnya dinilai berbaik hati kepada kelompok Islam idiologis, ternyata justru tak kalah kerasnya dibandingkan Orde Lama. Kelompok-kelompok idiologis ditekan.
Pada masa inilah Pancasila sebagai sebuah ideologi menjadi unsur determinan dalam wacana politik. Celakanya, Pancasila kembali berubah menjadi kredo untuk membenarkan perilaku otoriter penguasa. Pancasila menjadi “makhluk” yang menakutkan bagi banyak kalangan, termasuk kelompok Islam idiologis (juga kelompok kiri, mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi yang jumlahnya minoritas). Perdebatan lama tadi pun akhirnya beralih tempat dari parlemen ke komunitas intelektual. Beberapa generasi intelektual malah memberikan “pembenaran” bagi eksistensi Pancasila, sekalipun idiologi ini telah dieksploitasi bagi kepentingan otoritarianisme.
Akan tetapi di balik itu, pada masa Orde Baru, juga terjadi transformasi lain, yakni munculnya kelompok dalam Islam yang mencari argumentasi untuk mensinergikan antara Islam dan Pancasila. Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sejarawan Kuntowijoyo, misalnya, melihat Pancasila sebagai objektivikasi Islam. Baginya, tidak ada sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam dan sebaliknya tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak cocok dengan Pancasila.
Hanya saja, karena dikemukakan di zaman Orde Baru, muncul spekulasi bahwa pandangan para sarjana Islam itu memberikan pembenaran terhadap praktik otoriatanisme. Rezim ini justru menyelenggaraan otoritarianisme dengan klaim telah melaksanakan Pancasila. Karena itu masih menjadi pertanyaan, apakah pemikiran sarjana Islam perihal kesesuaian antara Islam dan Pancasila menjadi justifikasi intelektual bagi praktik otoriterianisme?
Ketika rezim otoriter runtuh dan reformasi menyeruak, pemikiran soal hubungan antara negara dan agama kembali mencuat ke permukaan. Hanya saja konteks sosio-politiknya sudah berbeda. Para sarjana pun harus mencari formula baru hubungan antara Islam dan kebangsaan dalam konteks demokrasi dan reformasi. Sebab aktualisasi hubungan keduanya bisa berbeda antara zaman otoriter dengan zaman demokrasi.
Di era reformasi dan demokrasi, bentuk hubungan antara Islam dan negara tak serta merta koheren satu sama lain. Demokrasi justru memungkinkan menyeruaknya segala macam aspirasi, termasuk aspirasi “laten” dari kalangan Islam idiologis, yakni memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspirasi itu mungkin tidak lagi menjadi benchmark partai-partai Islam, karena reputasinya merosot drastis pasca-depolitisasi dan deparpolisasi Orde Baru.
Aspirasi syariat Islam justru lahir dari lembaga-lembaga demokrasi baru, seperti parlemen lokal. Lahirnya sejumlah perda bernuansa syariat Islam di beberapa daerah justru lahir dalam konteks demokrasi lokal. Persoalan sekarang, bagaimana mencari formula yang tepat supaya Islam, Pancasila dan demokrasi tidak berbenturan satu sama lain.
Secara prinsip, ketiga entitas mungkin bisa bersesuaian satu sama lain, akan tetapi jika politik kepentingan sudah mendominasi, maka ketiganya bisa dimanfaatkan hanya untuk kepentingan parsial perorangan atau kelompok atas nama publik. Di masa Orla dan Orba, Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan otoriter, maka di masa reformasi, tidak hanya Pancasila sebagai idiologi, Islam dan demokrasi pun bisa diperkuda untuk kepentingan sempit segelintir elite atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.(CMM)
B. Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya
Bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada founding father-nya yang telah menyatukan kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu melakukannya. Semangat nasionalisme mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dari puluhan ribu pulau, suku bangsa, bahasa, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling mendasar.
Kini, ada satu ancaman baru dengan pudarnya nasionalisme sebagian masyarakat Indonesia yang ingin merubah tatanan dan ideologi bangsa dengan menginginkan penerapan syari’at Islam di tengah pluralisme beragama bahkan dengan sistem khilafah. Mereka muncul untuk menegakkan syari’at Islam dengan membawa simbol mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena adanya agama lain. Padahal Pancasila tidak membawa agama, namun mengatur hal-hal yang berbaur dengan agama.
Sebagai bentuk perlawanan, akhirnya muncul dikotomi antara kelompok Islamis dan nasionalis yaitu kelompok yang menginginkan penerapan syari’at Islam serta membentuk Indonesia dalam sistem khilafah dan kelompok yang tetap mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa. Kelompok Islamis seolah-olah merasa tidak kaffah menjalankan syari’at Islam di negara pancasila, demikian pula kelompok nasionalis merasa mengkhianati bangsanya ketika syari’at Islam diformalisasikan di negara pancasila. Padahal Islam adalah agama yang syumul (universal) yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu hingga akhir zaman. Demikian pula pancasila adalah ideologi yang terbangun atas dasar nilai-nilai agama termasuk Islam.
Memang, pertarungan dua kelompok ini telah dimulai sejak masa kolonial. Di mana pada tahun 1930, Soekarno versus Natsir telah berpolemik tentang masalah-masalah dasar perjuangan kemerdekaan dan tentang masa depan bangsa Indonesia. Keduanya adalah tokoh yang representasi mewakili kelompok nasionalis dan Islamis. Demikian pula pasca kemerdekaan, dua kelompok ini bertarung melalui Piagam Jakarta terutama dalam konsep dasar ideologi bangsa yaitu pada kalimat “…dengan berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” meskipun pada akhirnya berdasarkan musyawarah dapat diganti dengan kalimat “….berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, kita mestinya tidak menjadikan sejarah pertentangan di atas sebagai semangat pemberontakan terhadap Pancasila ataupun melawan nilai dari ajaran Islam sebab mereka telah tuntas dalam satu kesepakatan dengan menjadikan Pancasila sebagai azas negara dengan rumusannya yang sempurna serta mengambil nilai dari ajaran-ajaran agama.
Namun semangat penerapan syari’at Islam atas nama mayoritas masih terus mengalir hingga ke parlemen dan eksekutif dengan lahirnya partai-partai berazaskan Islam dan melahirkan Undang-Undang serta Perda-Perda bernuansa syari’at Islam. Di sisi lain semangat mempertahankan pancasila sebagai ideology yang legitimed dan melindungi minoritas pun terus dilontarkan melalui parlemen dan gerakan-gerakan nasionalisme. Mereka menginginkan pancasila sebagai harga mati bagi azas negara Indonesia.
Pada dasarnya, Islam dan pancasila adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan sebab keduanya bertujuan mewujudkan perdamaian di muka bumi. Untuk itu perlu ada rumusan dan diplomasi baru guna menjadikan keduanya sebagai ruh bangsa Indonesia. Indonesia yang dapat membentuk masyarakatnya dapat berbangsa tanpa merasa berdosa kepada Tuhannya, demikian pula dapat beragama tanpa merasa mengkhianati bangsanya. Menjadikan agama untuk mengisi pancasila agar tidak bertentangan secara vertical kepada Tuhan. Yakinlah bahwa pancasila merupakan impelementasi atau turunan dari ajaran Islam melalui ajaran hablun minannas (hubungan kepada sesame manusia). Begitu pula melalui ajaran persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah).
Jadi mengamalkan Pancasila adalah bagian dari ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam dan mengamalkan Islam adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada bangsa Indonesia. Sebaliknya, melanggar ketentuan Pancasila dapat melanggar nilai-nilai dari ajaran Islam dan tidak melaksanakan Islam adalah pengkhianatan kepada bangsa Indonesia.
C. Hubungan Antara Islam dan Pancasila
Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.
Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaauntuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas .
Terpuruknya suatu bangsa yang memiliki pandangan yang luhur seperti Indonesia kini bukanlah kesalahan dan kegagalan dari dasar negaranya Pancasila. Bahkan fakta sosial bahwa banyak umat agama yang terpuruk bukan berarti agama itu salah atau gagal. Pandangan bijak seperti ini sebenarnya telah diucapkan oleh para wakil Komisi I di sidang Konstituante ini. Kiranya pernyataan ini adalah pernyataan bijak yang abadi. Islam atau agama apapun dalam sejarah bangsa dan negara di dunia ini banyak yang mengalami kegagalan dan kehancuran, hal ini dikarenakan penguasa saat itu tidaklah demokratis dan menjunjung keadilan bagi terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Hal itu diperparah oleh elite penguasa dan agama yang korup, mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pancasila juga mengalami hal itu terutama sejak (dan bila) penguasa melupakan tujuan dari pancasila itu sendiri yakni menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Jadi bukan salah Pancasila apalagi Agama bila suatu bangsa terpuruk, namun lebih daripada itu semua dalah kesalahan elite penguasa dan agama yang rakus pada kekuasaan dan kemakmuran diri sendiri. Namun demikian, dibanding dengan agama yang selalu eksklusif sifatnya, Pancasila dengan nilai demokratisnya lebih menjanjikan bagi suatu kebangsaan yang multi-segalanya seperti Indonesia ini.
Akan tetapi, bukan berarti dasar negara tidak boleh diganti (dengan suatu agama misalnya) seperti yang diingatkan oleh Soedjamoko di Sidang Konstituante ini. Sebab bila rakyat semua berkehendak untuk dirubah maka sah lah dasar negara yang disepakatinya nanti. Walaupun demikian, Soedjatmoko mengingatkan bahwa tujuan dasar negara itu adalah untuk menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa. Hal yang hanya bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern. Disinilah arti daripada demokrasi modern bagi semua agama yang memiliki naluri eksklusifitas bisa direkonstruksi demi tujuan yang lebih mulia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi serta politik yang seluas-luasnya. Demokrasi bukan berarti kesempatan bagi sekelompok elite agama untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya tampak dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUUP yang sepihak tanpa adanya musyawarah dan rasa keadilan.
Meskipun begitu, nilai etik dan moral pada Pancasila sesungguhnya berasal dari nilai-nilai tradisi dan agama itu sendiri yang tentu saja musti disempurnakan dengan imbangan nilai-nilai kemanusiaan modern seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM. Doktrin Agama yang tumbuh dalam ruang dan waktu sejarah tertentu jelas mengalami dislokasi dengan rasa budaya dan kemanusiaan yang ada, apalagi agama yang datang dari satu daerah ke daerah lain. Dislokalitas dan temporalitas agama jelas terkandung didalamya suatu nilai budaya tertentu -misal Islam dan Arab atau Kristen dan Barat. Negoisasi dan akulturasi yang terjadi di ruang dan waktu sejarah selanjutnya juga ikut mewarnai sosok agama tersebut hingga tercipta simbiosis semacam Islam Jawa atau Kristen Batak. Nilai-nilai modern ini sebenarnya tumbuh dari pengalaman manusia dalam mencari dan mamaknai keadilan dan kemanusiaan akibat perjumpaan antar dan inter agama dan budaya. Pancasila yang tumbuh dari kepribadian bangsa inilah (yakni agama yang memiliki nilai demokrasi modern) yang akan mampu membawa manusia menjalani dan mengekspresikan agamanya menjadi lebih dewasa. Beragama dalam bingkai keindonesiaan berarti mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan berpancasila dalam segala tindakan etik dan moral kita sejatinya buah dari religiusitas beragama yang dewasa dan modern. Celakanya agama modern sekarang lebih berorientasi pada masa lalu yang dianggap otentik dan murni, mirip dengan Pancasila di Zaman Orba yang memfosilkan Pancasila itu sendiri.
D. Relasi Islam Dengan Pancasila
Umat Islam menerima pancasila hanyalah sebagai dasar negara,tidak lebih daripada itu karena umat Islam memiliki pedoman/pandangan hidup sendiri yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits .Al-Qur’an tidak bisa disamakan atau dibandingkan apalagi di ganti, dengan pancasila.Pancasila bukan wahyu,akan tetapi umat Islam menjadikan pancasila sebagai cerminan seperti yang disampaikan K.H. Ahmad Siddiq ( Rois Am ), orang yang boleh dikatakan konseptor utama keputusan Munas 1983 dan Muktamar 1984, dalam kutipan makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan:”Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid”.Dan dalam “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut :
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.
Sikap NU adalah menjadikan pancasila sebagai asas negara dan Islam sebagai aqidahnya.NU bukan hanya pertama menerima tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Sedangkan,Muhammadiyah menerima Pancasila setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (voa Islam.com,Dikutip dari buku:NU dan Pancasila).Paham pancasila akan sulit diterima,kecuali dengan pendekatan agama,yakni Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
· Pancasila adalah asas negara Indonesia,artinya segala hukum yang berlaku di Indonesia harus berasaskan kepada pancasila atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia.
· Dengan dikeluarkannya dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 , untuk kembali ke UUD 1945,maka dengan begitu segala tertib hukum yang berlaku di Indonesia harus sesuai dengan syariah Islam.Karena sumber pembentuk UUD 1945 adalah Piagam Jakarta,meskipun anak kalimat dari sila pertama pancasila telah di hapus.
· Dalam negara yang berpaham Pancasila,hubungan agama dalam sangat penting ;dimana agama berperan sebagai aqidah yang mewarnai hukum dalam negara tersebut.
B. Saran
Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
Selengkapnya Klik DOWNLOAD
0 Response to "Makalah Hubungan Antara Islam dan Pancasila"
Post a Comment