BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan menimbulkan akibat, baik di pihak laki-laki maupun di pihak perempuan. Akibat itu bagi laki-laki dan perempuan adalah tidak sama. Memang laki-laki berbeda dari perempuan baik jasmani maupun rohani.Tetapi terutama yang berbeda adalah yang bersifat kemasyarakatan.
Karena suatu hal maka perkawinan dapat mengalami pembatalan perkawinan, ini dapat disebabkan karena berbagai hal, misalnya adanya suatu paksaan dari salah satu pihak yang mengalami perkawinan, terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri, dan adanya suatu ancaman terhadapat salah satu atau kedua belah pihak yang mengalami perkawinan.
Mengenai hal pembatalan perkawinan tentu harus karena suatu alasan dan melalui suatu prosedur yang tepat agar pembatalan perkawinan ini dapat dilakukan, oleh karena itu mengenai pembatalan perkawinan akan dibahas di dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Kami membatasi masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian perkawinan?
2. Apa perbedaan pencegahan dan pembatalan?
3. Siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan?
4. Apa saja akibat hukum dari adanya pembatalan perkawinan?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengertian perkawinan
2. Perbedaan pencegahan dan pembatalan
3. Orang yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
4. Akibat hukum dari adanya pembatalan perkawinan
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, bab satu terdiri dari beberapa poin yakni latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri atas tinjauan teoritis.Bab tiga merupakan pembahasan. Sedangkan bab empat adalah penutup.
BAB II
AKIBAT HUKUM DARI PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”[1]
Menurut Dr. Wirjono: “Perkawinan yaitu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.”[2]
Menurut K. Watjik Saleh: “Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.”[3]
B. Perbedaan Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan dan pembatalan dalam undang-undang perkawinan dimungkinkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung, mengajukan pencegahan atau pembatalan perkawinan.Pencegahan yang dimaksud, yaitu perkawinan belum terlaksana, sedangkan pembatalan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang.Hal ini terjadi biasanya dalam hal mengambil istri kedua.[4]
C. Orang yang Bisa Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 14, Ayat (1) yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Ayat (2), mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan, apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.[5]
Siapa-siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan, pembatalan diatur di dalam pasal 23 sampai 27. Pasal 23, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang, hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini, dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Dalam hal pembatalan perkawinan, khusus dalam hubungan suami istri, dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam pasal 27, dimana seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum (Ayat (1)), dan seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan, terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri (Ayat (2)), apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Selain dalam Undang-Undang Perkawinan, pembatalan perkawinan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Perkawinan diatur dalam pasal 37 dan 38. Pasal 37 berbunyi: Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan. Pasal 38 ayat 1: Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Ayat 2: Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Ayat 3: Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah ini. Maka, dalam hal pembatalan maupun pencegahan perkawinan ada persamaannya yaitu kedua-duanya harus melalui pengadilan dengan cara seperti gugatan perceraian.[6]
D. Akibat Hukum dari Adanya Pembatalan Perkawinan
Akibat-akibat dari batalnya perkawinan diatur dalam pasal 28 Undang-Undang Perkawinan serta pasal 95 sampai 98 KUH Perdata yang pada pokoknya dapat dibedakan menjadi[7]:
1. Adanya itikad baik dari suami dan istri
2. Hanya salah satu pihak yang beritikad baik
3. Tidak adanya itikad baik dari suami dan istri
Adanya Itikad Baik dari Suami dan Istri
Apabila perkawinan didasarkan pada itikad baik dari suami dan istri, maka perkawinan tersebut tetap mempunyai akibat hukum yang sah bagi suami dan istri, serta terhadap anak-anak mereka[8].Sehingga putusan hakim mengenai batalnya perkawinan hanya mempunyai akibat hukum setelah pembatalan tersebut.Sedangkan sebelum adanya pembatalan, perkawinan tersebut tetap dianggap sebagai perkawinan yang sah.Putusan mengenai batalnya perkawinan dipandang sebagai pembubaran perkawinan karena perceraian atau pembubaran perkawinan setelah adanya pisah meja dan tempat tidur.[9]
Untuk harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan hingga putusan batalnya perkawinan akan dibagi dua apabila sebelum melangsungkan perkawinan para pihak tidak membuat perjanjian perjanjian kawin. Sedangkan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut dianggap sebagai anak-anak yang sah. Hal yang sama juga berlaku terhadap pengesahan anak luar kawin dan adopsi[10].
Hanya Salah Satu Pihak yang Beritikad Baik
Apabila hanya salah satu pihak yang beritikad baik, maka perkawinan tersebut hanya mempunyai akibat-akibat yang sah dan menguntungkan bagi pihak yang beritikad baik dan anak-anaknya.Sedangkan bagi pihak yang tidak beritikad baik dapat dibebani biaya ganti rugi dan bunga[11].
Apabila sebelumnya perkawinan dilangsungkan tanpa perjanjian kawin, maka pembagian harta yang diperoleh selama perkawinan hanya berlaku apabila pembagian harta perkawinan tersebut menguntungkan pihak yang beritikad baik.Ini berarti apabila sebelum perkawinan harta kekayaan yang dimiliki oleh pihak yang beritikad baik lebih sedikit dibanding pihak yang tidak beritikad baik. Maka dilakukan pembagian harta perkawinan sehingga harta kekayaan pihak yang beritikad baik akan bertambah. Sebaliknya apabila sebelum perkawinan dilangsungkan harta kekayaan pihak yang beritikad baik lebih banyak dibanding pihak yang tidak beritikad baik, maka tidak dilakukan pembagian harta perkawinan.Sedangkan mengenai anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tetap mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai alasan untuk menuntut pembatalan perkawinan tidak di atur secara rinci di dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga beberapa ketentuan yang ada di dalam KUH Perdata mengenai pembatalan perkawinan masih berlaku. Demikian pula mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan uraian secara mendalam.Sehingga akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan.
Akibat-akibat dari batalnya perkawinan diatur dalam pasal 28 Undang-Undang Perkawinan serta pasal 95 sampai 98 KUH Perdata yang pada pokoknya dapat dibedakan menjadi[13]:
1. Adanya itikad baik dari suami dan istri
2. Hanya salah satu pihak yang beritikad baik
3. Tidak adanya itikad baik dari suami dan istri
B. Saran
Sesungguhnya perkawinan itu merupakan ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang laki-laki dengan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga, dan sebelum melakukan suatu pernikahan hendaknya kita pikirkan dahulu , karena perkawinan dapat juga mengalami pembatalan perkawinan yang disebabkan karena berbagai hal, misalnya adanya suatu paksaan dari salah satu pihak yang mengalami perkawinan, terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri, dan adanya suatu ancaman terhadapat salah satu atau kedua belah pihak yang mengalami perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjopratikno, Hartono. 1994. Akibat Hukum dari Perkawinan Menurut Sistem Burgerlijk Wetboek. Yogyakarta: PT. Mustika Wikasa.
Soimin, Soedharyo. 2010. Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan.Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie Recht).
[1] UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[2] Soedharyo Soimin, S.H., Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Halaman 3.
[3] Soedharyo Soimin., Ibid., halaman 6.
[4] Soedharyo Soimin., Ibid., halaman 16 – 17.
[5] Soedharyo Soimin., Ibid., halaman 17.
[6] Soedharyo Soimin., Ibid., halaman 18.
[7]R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan.Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie Recht).Halaman 38.
[8]Ibid., halaman 38.
[9] Ibid.,
[10]Ibid., halaman 38 – 39.
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13]R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan.Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie Recht).Halaman 38.
0 Response to "Makalah Akibat Hukum Adanya Pembatalan Perkawinan"
Post a Comment