BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Dalam rangka
mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal, sudah tentu mutlak diperlukan
suatu pelayanan yang bersifat terpadu komprehensiv dan profesional dari para
profesi kesehatan. Rumah sakit adalah merupakan salah satu unit/instansi
kesehatan yang sangat vital dan strategis dalam melayani kesehatan masyarakat,
dimana aspek pelayanan sangatlah dominan dan menentukan.
Pelayanan
kefarmasian merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang
tidak terpisahkan, salah satu aspek pelayanan kefarmasian yaitu pelayanan
informasi obat yang diberikan oleh apoteker kepada pasien dan pihak-pihak
terkait lainya. Informasi obat adalah suatu bantuan bagi dokter dalam
pengambilan keputusan tentang pilihan terapi obat yang paling tepat bagi
seorang pasien. Pelayanan informasi obat yang diberikan tersebut tentulah harus
lengkap, obyektif, berkelanjutan dan selalu baru up to date. Dengan pelaksaan
pelayanan informasi obat yang rasional dirumah sakit.
Mengingat
demikian pentingnya fungsi dari pelayanan informasi obat dirumah sakit, maka
diperlukan suatu acuan atau pedoman. Maka dari itu makalah ini dibuat oleh
penyusun dan dijelaskan berdasarkan sumber yang didapatkan.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Untuk menghindari adanya kesimpang
siuran dalam makalah ini, maka kami membatasi masalah-masalah yang akan dibahas
diantaranya :
1.2.1
Apa
definisi dari Pelayanan informasi obat?
1.2.2
Apa
ruang lingkup dari pelayanan informasi obat ?
1.2.3
Apa
saja sumber-sumber informasi obat ?
1.2.4
Apa metode pelayanan informasi obat ?
1.2.5
Apa
tujuan dan prioritas pelayanan informasi obat ?
1.2.6
Apa
fungsi-fungsi pelayanan informasi obat ?
1.2.7
Apa
sasaran dari informasi obat ?
1.2.8
Apa
kategori dari informasi obat ?
1.3 TUJUAN
DAN MANFAAT
Dalam
penyusunan makalah ini saya memiliki beberapa tujuan dan manfaat :
1.3.1
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami definisi dari Pelayanan
informasi obat.
1.3.2
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami ruang lingkup dari pelayanan
informasi obat.
1.3.3
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami sumber-sumber informasi obat.
1.3.4
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami metode pelayanan informasi
obat.
1.3.5
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami tujuan dan prioritas pelayanan
informasi obat.
1.3.6
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami fungsi-fungsi pelayanan
informasi obat.
1.3.7
Agar
mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami kategori pelayanan informasi
obat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI PELAYANAN INFORMASI OBAT
Kemenkes no 1197 tahun 2004 BAB VI
mendefinisikan PIO sebagai kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini baik kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien[1].
Kegiatan yang dilakukan dalam PIO dapat berupa :
a.
Pemberian
informasi kepada konsumen secara aktif maupun pasif melalui surat, telfon, atau
tatap muka
b.
Pembuatan
leaflet, brosur, maupun poster terkait informasi kesehatan
c.
Memberikan
informasi pada Panitia Farmasi Terapi (PFT) dalam penyususnan formularium Rumah
Sakit
d.
Penyuluhan
e.
Penelitian
Informasi yang diberikan pada pasien
dapat berupa waktu penggunaan, lama penggunaan, cara penggunaan obat yang
benar, efek yang timbul dari pengobatan, cara penyimpanan obat, serta informasi
penting lainnya seperti efek samping, interaksi obat, kontra indikasi, atau
kondisi tertentu seperti hamil dan menyusui[2].
Keputusan Dirjen Bina Farmasi dan
Alat Kesehatan No HK.00.DJ.II.924 menuliskan prosedur tetap dalam PIO:
a.
Menyediakan
dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang berisi informasi obat pada
tempat yang mudah dilihat oleh pasien.
b.
Menjawab
pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung dengan
jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui penelusuran
literatur secara sistematis untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
c.
Mendokumentasikan
setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis.
2.2 RUANG LINGKUP
PELAYANAN INFORMASI OBAT
Ruang lingkup jenis pelayanan informasi
rumah sakitdi suatu rumah sakit, antara lain[3]:
a. Pelayanan
informasi obat untuk menjawab pertanyaan
b. Pelayanan
informasi obat untuk mendukung kegiatan panitia farmasi dan terapi.
c. Pelayanan
informasi obat dalam bentuk publikasi.
d. Pelayanan informasi
obat untuk edukasi.
e. Pelayanan
informasi obat untuk evaluasi penggunaan obat.
f. Pelayanan
informasi obat dalam studi obat investigasi.
2.3 SUMBER
INFORMASI OBAT
Sumber
informasi obat adalah Buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat
Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasianal Indonesia (IONI), Farmakologi dan
Terapi, serta buku-buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari
setiap kemasan atau brosur obat yang berisi:
1. Nama dagang obat jadi
2. Komposisi
3. Bobot, isi atau jumlah tiap wadah
4. Dosis pemakaian
5. Cara pemakaian
6. Khasiat atau kegunaan
7. Kontra indikasi (bila ada)
8. Tanggal kadaluarsa
9. Nomor ijin edar/nomor regristasi
10. Nomor kode produksi
11. Nama dan alamat industri
Sumber
informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga, dan manusia. Dokumen mencakup
pustaka farmasi dan kedokteran, terdiri atas majalaj ilmiah, buku teks, laporan
penelitian, dan farmakope. Fasilitas mencakup fasilitas ruangan, peralatan,
computer, internet, perpustakaan dan lain-lain. Lembaga mencakup industri
farmasi, Badan POM, pusat informasi obat, pendidikan tinggi farmasi, organisasi
profesi dokter dan apoteker. Manusia mencakup dokter, dokter gigi, perawat,
apoteker, dan profesional kesehatan lainnya di rumah sakit. Apoteker yang
mengadakan pelayanan informasi obat harus mempelajari juga cara terbaik
menggunakan berbagai sumber tersebut. Pustaka obat digolongkan dalam empat
kategori, yaitu:
1. Pustaka
primer
Sumber
pustaka primer adalah artikel orisinil yang dipublikasikan atau yang tidak
dipublikasikan penulis atau peneliti, yang memperkenalkan pengetahuan baru atau
peningkatan pengetahuan yang telah ada tentang suatu persoalan. Sumber pustaka
primer ini termasuk hasil penelitian, laporan kasus, juga studi evaluatif, dan
laporan deskriptif. Pustaka primer memberikan dasar untuk pustaka sekunder dan
tersier. Artikel dalam majalah ilmiah adalah yang paling sering disebut sebagai
contoh sumber pustaka primer, walaupun semua artikel dalam majalah ilmiah bukan
merupakan sumber pustaka primer. Contoh pustaka primer lain termasuk prosiding seminar, buku catatan
laboratorium, korespondensi, seperti surat dan memo, tesis, disertasi, dan
laporan teknis (Siregar dan Lia, 2003)[4].
Sumber
pustaka primer memberikan informasi paling mutakhir tentang pokok tertentu pada
waktu tertentu karena karya itu merupakan refleksi pengamatan penulis saja,
hasilnya tidak diinterpretasikan. Keterbatasan utama dari sumber pustaka primer
adalah ketidakpraktisan. Dalam pustaka primer, seseorang tidak dapat secara
efisien mencari informasi khusus, kecuali orang itu memiliki pengetahuan yang
dalam tentang organisasi dan jenis pustaka. Dalam banyak situasi, apoteker
harus menelusur kembali pustaka primer untuk menjawab suatu pertanyaan spesifik
penderita. Kemampuan dalam hal penelusuran kembali dan interpretasi pustaka
primer memerlukan pengalaman melalui praktik yang terus-menerus. Satu cara agar
apoteker terbuka kepada pustaka primer adalah membaca sendiri. Semua apoteker
harus memenuhi suatu komitmen profesional, yaitu tetap mutakhir. Salah satu
mekanisme untuk untuk mencapai hal tersebut adalah membaca majalah ilmiah
secara tetap. Ada dua contoh pertanyaan informasi obat tertentu yang sering timbul
di rumah sakit, yaitu tentang penggunaan obat baru dari obat yang dipasarkan
atau obat yang baru-baru ini dilaporkan menimbulkan efek merugikan. Penggunaan
pustaka primer sering kali perlu untuk
dapat menjawab pertanyaan tersebut (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa
sumber informasi primer: Annals of Pharmacotherapy, British Medical Journal,
Journal of American Medical Association (JAMA), Journal of
Pediatrics, New England Journal of Medicine (Siregar dan Endang, 2006)[5].
2. Pustaka
sekunder
Pustaka sekunder memuat berbagi
abstrak, yang merupakan sistem penelusuran kembali untuk pustaka primer dan
digunakan untuk menemukan artikel pustaka primer. Informasi yang diperoleh dari
pustaka sekunder tersendiri jarang digunakan untuk keputusan klinik. Dengan pustaka
sekunder, memungkinkan paoteker memasuki multi sumber informasi secara cepat
dan efisien. Informasi dalam pustaka sekunder dikatagorikan atau diindekskan
dan diabstrak dari sumber pustaka primer. Dalam tahun-tahun akhir ini, sumber
ini terutama telah dapat diperoleh melalui penelusuran komputer. Sumber
informasi sekunder adalah rumit dan sering memerlukan pelatihan tambahan untuk
penggunaannya (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa sumber informasi
sekunder: Inpharma, International Pharmaceutical Abstract (IPA),
Medline, Pharmline (Kurniawan
dan Chabib, 2010)[6].
3. Pustaka
tersier
Pustaka tersier biasanya dikaitkan
dengan buku teks atau acuan umum. Sumber ini menyoroti data yang diterima
secara luas dari pustaka primer; mengevaluasi informasi ini dan menerbitkan
hasilnya. Sumber pustaka tersier termasuk buku teks atau “data base”, kajian
artikel, kompendia, dan pedoman praktis. Sumber pustaka tersier adalah acuan
pustaka yang paling umum digunakan, mudah dimasuki, dan biasanya dapat memenuhi
kebanyakan permintaan informasi obat spesifik penderita. Lagipula, sumber
tersier memberikan informasi yang disusun dan dievaluasi dari acuan pustaka
yang banyak dan dinyatakan dalam suatu cara yang praktis. Karena banyak ahli
memberi kontribusi pada sumber ini, penggunaan dan interpretasi informasi
diperkaya (Siregar dan Lia, 2003).
Keterbatasan
utama dari pustaka tersier adalah ketinggalan waktu beberapa bulan bahkan
sampai mungkin beberapa tahun. Apabila informasi atau pandangan paling mutakhir
dibutuhkan, diperlukan sumber pustaka sekunder dan primer. Seoran penulis
mempunyai hak prerogative untuk memasukkan atau mengeluarkan informasi sehingga
tidak semua bagian dari pustaka primer perlu menjadi bagian dari pustaka
tersier. Informasi dalam sumber pustaka tersier mencerminkan pandangan dari
penulis yang dapat menghasilkan salah interpretasi dari pustaka primer, dan
melalui ketidaksetujuan (Siregar dan Lia, 2003). Contoh beberapa sumber
informasi tersier: Textbook of Advers
Reactions, Drug Information full text, Handbook of Clinical Drug Data, Drug
Facts and Comparison, dan AHFS DI (Siregar
dan Endang, 2006).
Pada
umumnya, sumber pustaka primer mengandung informasi yang paling mutakhir,
sedang pustaka sekunder dan tersier karena mengandung abstrak dan acuan dari
sumber primer, mempunyai informasi yang kurang mutakhir. Sumber pustaka
sekunder dan tersier, kemungkinan kurang akurat atau kurang dapat dipercaya
karena informasi dalam kedua sumber tersebut dibuat melalui transformasi oleh
berbagai penulis dan / atau penerbit, guna mencapai format yang diperlukan
(Siregar dan Lia, 2003).
4. Sumber
lain
Sumber
informasi lain mencakup sumber yang tidak termasuk kategori pustaka primer,
sekunder, atau tersier; misalnya, komunikasi dengan tenaga ahli, manufaktur,
dan brosur penelitian. Komunikasi tenaga ahli terdiri atas informasi yang tidak
dipublikasikan yang diperoleh khusus dari seorang tenaga ahli. Komunikasi ini
dapat merupakan suatu pendapat didasarkan pada pengalaman tenaga ahli tersebut
atau berdasarkan data dari suatu studi evaluatif pendahuluan yang
dipublikasikan (Siregar dan Lia, 2003).
Brosur
penelitili, kadang-kadang berhubungan dengan suatu monografi penelitian, adalah
informasi tentang obat investigasi. Industri farmasi tidak diperkenankan
memberikan informasi umum tentang obat investigasi, tetapi mereka dapat
memberikan monografi tentang zat aktif individu kepada peneliti yang melakukan
penelitian tentang zat itu. Brosur ini mengandung sejumlah besar informasi
tentang produk mencakup farmakologi, farmakokinetik, efek klinis yang
diketahui, kejadian merugikan yang diketahui, dosis yang direkomendasikan,
prosedur pemberian, persyaratan
penyimpanan, stabilitas dan pustaka (Siregar dan Endang, 2006).
2.4 METODE
PELAYANAN INFORMASI OBAT
1. Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit.
2. Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar iam kerja
dilayani oleh apoteker instalasi farmasi
yang sedang tugas jaga.
3.
Pelayanan informasi obat dilayani oleh
apoteker pada jam kerja, dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam
kerja.
4.
Tidak ada petugas khusus pelayanan
informasi obat, dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi, baik pada jam
kerja maupun diluar jam kerja.
5.
Tidak ada apoteker khusus, pelayanan
informasi obat dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi di jam kerja dan
tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja. (Direktorat jendral pelayanan
kefarmasian dan alat kesehatan departemen kesehatan RI : 2006)[7].
2.5 TUJUAN
DAN PRIORITAS PELAYANAN INFORMASI OBAT
2.5.1
TUJUAN PELAYANAN INFORMASI OBAT
1.
Mendorong penggunaan obat secara :
a.
Efektif
Efektif yaitu tercapainya tujuan terapi secara
optimal, termasuk juga efektivitas biaya, yang ditandai dengan keluaran positif
lebih besar dari pada keluaran negatif.
b.
Aman
Aman berarti bahwa efek obat yang merugikan dapat
diminimalkan dan tidak membahayakan pasien.
c.
Rasional
Rasional yaitu bahwa pengobatan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dengan adanya pelaksanaan
pelayanan informasi obat diharapkan obat yang diberikan kepada pasien dapat
memenuhi kriteria, yaitu tepat pasien, tepat dosis, tepat rute pemberian, dan
tepat cara penggunaan.
2.
Memberikan pelayanan terhadap kebutuhan informasi obat
untuk setiap sektor profesi tenaga kesehatan dan berkontribusi aktif dalam
pertumbuhan komunitas masyarakat yang membutuhkan informasi obat.
2.5.2
PRIORITAS PELAYANAN INFORMASI OBAT
Sasaran utama pelayanan informasi obat
adalah penyempurnaan perawatan pasien melalui terapi obat yang rasional. Oleh
karena itu, prioritas harus diberikan kepada permintaan informasi obat yang
paling memoengaruhi secara langsung pada perawatan pasien. prioritas untuk
permintaan informasi obat diurutkan sebagai berikut[8]:
a.
Penanganan/pengobatan darurat pasien
dalam situasi hidup atau mati
b.
Pengobatan pasien rawat tinggal dengan
masalah terapi obat khusus
c.
Pengobatan pasien ambulatori dengan
masalah terapi obat khusus
d.
Bantuan kepada staf profesiional
kesehatan untuk penyelaesaian tanggung jawab mereka
e.
Keperluan dari berbagai fungsi PFT
f.
Berbagai proyek penelitian yang
melibatkan penggunaan obat.
2.6 FUNGSI-FUNGSI
PELAYANAN INFORMASI OBAT
Seluruh
jawaban yang diberikan oleh Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan
sebagai catatan dari kegiatan yang dilakukan maupun sebagai informasi yang
berguna bagi pertanyaan berikutnya dan evaluasi terhadap kegiatan pelayanan
informasi obat dan program jaminan mutu[9].
1.
Umpan
Balik
Permintaan
informasi sebaiknya ditinda lanjuti baik secara langsung maupun melalui
mekanisme umpan balik. Hal ini dapat membantu dalam menentukan hasil dan apakah
informasi yang diberikan telah mengenai sasaran. Informasi umpan balik penting
sebagai ukuran jaminan mutu serta dalam kaitan dengan tanggung jawab
profesional.
2.
Kerahasiaan
Informasi
Informasi
yang diberikan oleh industri farmasi termasuk data formulasi, data efek samping
atau data obat investigasi yang diberikan untuk kenyamanan pasien harus
bersifat rahasia. Informasi obat seperti ini hanya digunakan untuk kondisi yang
memungkinkan untuk dipublikasikan atau tidak. Apoteker informasi obat mempunyai
tanggung jawab untuk menyimpan sumber informasi rahasia kepada penanya.
Informasi yang berhubungan dengan pasien harus dirahasiakan. Ketika pasien
diberikan informasi khusus lainnya sebagai tambahan informasi yang diperlukan
pasien seperti literatur, publikasi dan lain lain, identitas pasien harus
disimpan. Identitas pasien harus dirahasiakan dari pihak lain kecuali ada
persetujuan dari pasien.
Dan fungsi-fungsi pelayanan
informasi obat yang lainnya yaitu :
a.
Mengkoordinasikan
pemantauan dan pelayanan ESO.
b.
Memberikan
respon terhadap pertanyaan tentang obat
c.
Memberikan
masukan terhadap komite farmasi dan terapi di RS
d.
Drug utilization
review ( DUR ) / drug utilization review
evaluation (DUE)
e.
Pelaporan efek
samping obat ( ESO )
f.
Konseling pasien
g.
Pembuatan
buletin / news leter
h.
Edukasi
i.
Riset danpenelitian
2.7 SASARAN
INFORMASI OBAT
Yang dimaksud dengan sasaran informasi
obat adalah orang, lembaga, kelompok orang, kepanitiaan, penerima informasi
obat, seperti yang tertera dibawah ini :
A. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada
tahap penetapan pilihan obat serta regimennya untuk seorang pasien tertentu,
dokter memerlukan informasi dari apoteker agar ia dapat membuat keputusan
yang rasional. Informasi obat diberikan langsung oleh apoteker, menjawab
pertanyaan dokter melalui telepon atau sewaktu apoteker menyertai tim medis
dalam kunjungan ke ruang perawatan pasiean atau dalam konferensi staf medis
(Siregar, 2004)[10].
B. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi
oabt kepada PRT dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan
informasi obat tentang berbagai aspek oabt pasien, terutama tentang pemberian
obat. Perawat adalah profesional kesehatan yaang paling banyak berhubungan
dengan pasien karena itu, perawatlah yang pada umumnya yang pertama mengamati
reaksi obat merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker adalah yang
paling siap, berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat. Informasi yang
dibutuhkan perawat pada umumnya harus praktis, seera, dan ringkas, misalnya
frekuensi pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping yang mungkin,
penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan intravena, dll (Siregar,
2004).
C. Pasien
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada
umumnya adalah informasi praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan
informasi yang dibutuhkan profesional kesehatan. Informasi obat untuk PRT
diberikan apoteker sewaktu menyertai kunjungan tim medik ke ruang pasien;
sedangkan untuk pasien rawat jalan, informasi diberikan sewaktu penyerahan
obatnya. Informasi obat untuk pasien pada umumya mencangkup cara penggunaan
obat, jangka waktu penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat
bebas dikaitkan dengan resep obat, dan sebagainya (Siregar, 2004).
D. Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit
masing-msaing mempunyai tugas atau fungsi tertentu, sesuai dengan pendalaman
pengetahuan pada bidang tertentu. Apoteker yang langsung berinteraksi dengan
profesional kesehatan dan pasien, seing menerima pertanyaan mengenai informasi
obat dan pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan segera, diajukan kepada
sejawat apoteker yang lebih mendalami pengetahuan informasi obat. Apoteker
apotek dapat meminta bantuan informasi obat dari sejawat di rumah sakit
(Siregar, 2004).
E. Kelompok, Tim, Kepanitiaan, dan
Peneliti
Selain kepada perorangan, apoteker juga
memberikan informasi obat kepada kelompok profesional kesehatan, misalnya
mahasiswa, masyarakat, peneliti, dan kepanitiaan yang berhubungan dengan obat.
Kepanitiaan di rumah sakit yang memerlukan informasi obat antara lain, panitia
farmasi dan terapi, panitia evaluasi penggunaan obat, panitia sistem pemantauan
kesalahan obat, panitia sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan,
tim pengkaji penggunaan oabt retrospektif, tim program pendidikan “in-service”
dan sebagainya (Siregar, 2004).
2.8 KATEGORI
PELAYANAN INFORMASI OBAT
a. Menjawab pertanyaan spesifik yang
diajukan melalui telpon, surat atau tatap muka.
b. Meyiapkan materi brosur atau leflet informasi obat (pelayanan cetak
ulang atau re print).
c. Konsultasi tentang cara penjagaan
terhadap reaksi ketidakcocokan obat, konsep-konsep obat yang sedang dalam
penelitian atau peninjauan penggunaan obat-obatan.
d. Mendukung kegiatan panitia farmasi
terapi dalam menyusun formularium rumah sakit dan meninjau terhadap obat-obat
baru yang diajukan untuk masuk dalam formularium rumah sakit.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
3.1.1
PIO
adalah suatu kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan
informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini baik kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
3.1.2
Sumber
informasi obat mencakup dokumen, fasilitas, lembaga, dan manusia. Dokumen
mencakup pustaka farmasi dan kedokteran, terdiri atas majalaj ilmiah, buku
teks, laporan penelitian, dan farmakope. Pustaka obat digolongkan dalam empat
kategori, yaitu:
1.
Pustaka
primer
2.
Pustaka
sekunder
3.
Pustaka
tersier
3.1.3
Metode
pelayanan informasi obat terdiri dari :
a. Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit.
b. Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar iam kerja
dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c. Pelayanan
informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada pelayanan
informasi obat diluar jam kerja.
d. Tidak
ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.
e. Tidak
ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar
jam kerja.
3.1.3
Tujuan
pelayanan informasi obat yaitu :
a.
Menyediakan informasi mengenai obat
kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit.
b.
Menyediakan informasi untuk membuat
kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat, terutama bagi Panitia/Komite
Farmasi dan Terapi.
c.
Meningkatkan profesionalisme apoteker.
d.
Menunjang terapi obat yang rasional
3.1.4
Fungsi-fungsi
pelayanan informasi obat yang lainnya yaitu :
a.
Mengkoordinasikan
pemantauan dan pelayanan ESO.
b.
Memberikan
respon terhadap pertanyaan tentang obat
c.
Memberikan
masukan terhadap komite farmasi dan terapi di RS
d.
Drug utilization
review ( DUR ) / drug utilization review
evaluation (DUE)
e.
Pelaporan efek
samping obat ( ESO )
f.
Konseling pasien
g.
Pembuatan
buletin / news leter
h.
Edukasi
i.
Riset danpenelitian
3.1.5
Yang dimaksud dengan sasaran informasi
obat adalah orang, lembaga, kelompok orang, kepanitiaan, penerima informasi
obat, seperti yang tertera dibawah ini :
a.
Dokter
b.
Perawat
c.
Pasien
d.
Apoteker
e.
Kelompok, Tim, Kepanitiaan, dan
Peneliti
3.1
SARAN
Dari makalah ini kami mengharapkan agar para pembaca bisa
membacanya, memahaminya dan membuat makalah ini menjadi referensi para pembaca
dalam mengetahui dan memahami tentang pelayanan informasi obat. Demi
sempurnanya makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/Sk/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit.
Anonim. 2006. Keputusan Direktur
Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan No.Hk.00.Dj.Ii.924 entang
Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.
Direktorat jendral pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan
departemen kesehatan RI : 2006
Kurniawan,
W. K., dan Chabib, L. 2010. Pelayanan Informasi Obat Teori dan Praktik, Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Siregar,
Charles. JP., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan
Penerapan. Cetakan. I, Penerbit EGC: Jakarta.
Siregar
dkk. 2003. Farmasi Rumah Sakit Teori dan
Penerapan. Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Siregar, Charles
.2006. Farmasi klinik,teori dan penerapan.
EGC : Jakarta.
[1] Anonim, 2004, Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/Sk/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit.
[2] Anonim, 2006, Keputusan Direktur
Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan No.Hk.00.Dj.Ii.924 entang
Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.
[3]
Siregar, Charles. JP., 2004. Farmasi Rumah
Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan. I, Penerbit EGC: Jakarta.
[6]
Kurniawan, W. K., dan Chabib, L.
2010. Pelayanan Informasi Obat Teori dan Praktik, Graha Ilmu. Yogyakarta.
[8]
Siregar,
Charles. JP., 2004. Farmasi
Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan. I, Penerbit EGC: Jakarta.
[10]
Siregar,
Charles. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan I. Penerbit EGC: Jakarta.
0 Response to "MAKALAH PELAYANAN INFORMASI OBAT"
Post a Comment